Minggu, 18 Februari 2018

Bentuk Pemerintahan Dalam Islam

Latar Belakang Masalah
Merujuk pada Al Qur’an, Islam tidak menganjurkan pada pemeluknya untuk membentuk negara, tetapi Islam mengajarkan bagaimana membentuk masyarakat (civil society atau ummat) dalam merumuskan tatanan masyarakat yang ideal dan beradab. Bentuk pemerintahan dan sistem politik Islam adalah merupakan konsekuensi sekunder dari civil society[1] . Dalam tatanan masyarakat sipil, hal yang paling fundamental mempengaruhi
perubahan sosial adalah faktor ekonomi. [2] Faktor ini pula yang mempengaruhi kelahiran agama Islam dalam masyarakat Arab, bahkan sistem politik yang lahir dalam Islam hanyalah cerminan dari kondisi ekonomi waktu itu. [3]
Agama dan masyarakat Arabia abad ke tujuh mencerminkan realitas-realitas kesukuan semenanjung ini. Suku-suku Badui mengikuti gaya hidup pastoral dan nomadic dari satu wilayah ke wilayah lain untuk mencari air dan padang rumput bagi ternak-ternak - domba dan unta – mereka. Bentang daratan ini juga ditandai dengan kota-kota dan desa-desa oasis. Diantara yang terkemuka adalah Makkah, pusat perdagangan dan jual beli, serta Yatsrib (Madinah) sebuah perkampungan pertanian yang penting. Sumber-sumber kehidupan utama disini adalah penggembalaan ternak, pertanian, perdagangan dan penyerobotan. Peperangan antar suku adalah kegiatan yang sudah berumur lama yang diatur dengan tata-cara dan aturan main yang jelas. Misalnya, penyerobotan dianggap illegal selama empat bulan suci untuk haji. Tujuan penyerobotan adalah untuk merampas ternak suku-suku Badui musuhnya dengan korban minimum. Tujuan akhirnya adalah untuk memperlemah, dan pada akhirnya untuk menyerap suku-suku mereka dengan kemerosotannya dalam status “dibawah kekuasaan” atau “klien”. [4]
Masyarakat kesukuan Arabia dengan Badui serta etos polities menjadi konteks bagi lahirnya Islam. Sama pentingnya, periode ini ditandai dengan ketegangan-ketegangan dan persoalan yang menyertai perubahan dalam sebuah masyarakat tradisional. Sebab ini adalah periode ketika kota-kota seperti Makkah dan madinah mengalami kemakmuran dan mengalihkan banyak orang dari kehidupan nomadic ke kehidupan menetap. Munculnya Makkah sebagai pusat dagang mempercepat awal orde politik, social dan ekonomi yang baru. Kekayaan baru, munculnya oligarkhi dagang baru dalam suku Quraisy, menajamnya pemisahan antar kelas social, melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin mengguncang system nilai kesukuan Arab dan keamanan social sebagai pandangan hidupnya. [5] Kondisi obyektif masyarakat yang eksploitatif itulah yang menjadi titik tumpu pergerakan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. [6]
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah tentang kondisi obyektif masyarakat Arab yang mendasari kelahiran Agama dan politik Islam diatas, maka makalah ini hanya akan dibatasi dalam membahas tentang :
Bagaimana bentuk politik dan pemerintahan Islam pada masa Nabi Muhammad?
POLITIK ISLAM ZAMAN NABI MUHAMMAD
Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan. Agama adalah wewenang pemangku syariah yaitu
nabi Muhammad melalui wahyu dari Tuhan. Sedangkan politik adalah wewenang kemanusiaan, sepanjang menyangkut masalah teknis structural dan procedural. Dalam hal ini peran ijtihad manusia sangat besar.
Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang duniawi manapun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya dari segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan “untuk apa” tidak dibenarkan terlepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik bermoral tinggi. Inilah makna bahwa politik tidak bias dipisahkan dari agama. Tetapi dalam susunan formalnya atau struktur praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia melalui pemikiran rasionalnya. da lam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi structural dan procedural politik itu, dunia islam sepanjang sejarahnya mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan tanpa satupun dari variasi itu dipandang secara doctrinal paling absah.
Bentuk Politik dan Pemerintahan di Madinah
Hubungan antara agama dan politik pada zaman Nabi Muhammad terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad selama sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai penerima berita suci dan seorang pemimpin masyarakat politik. Dalam menjalankan peran sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang yang tidak boleh dibantah karena mengemban mandat. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai kepala Negara, beliau melakukan musyawarah – sesuai dengan perintah Tuhan – yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapatnya sendiri. [7]
Sejarah mencatat bahwa kota hijrah nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur dan dihuni oleh orang-orang pagan dari suku utama Aus dan Khazraj, dan juga orang-orang yahudi dari suku-suku utama bani Nadzir, Bani Qoinuqo, Bani Quraizhah. Kota ini awalnya adalah bernama Yatsrib lalu diubah oleh nabi menjadi Madinah. [8] Madinah yang digunakan oleh Nabi untuk menukar nama kota hijrah beliau itu kita menangkapnya sebagai isyarat langsung bahwa ditempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat yang teratur sebagaimana sebuah masyarakat. Maka sebuah konsep Madinah adalah pola kehidupan social yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh pada peraturan atau hukum yang berlaku. [9]
Kalau menganalisis sejarah, system pemerintahan yang dibentuk oleh nabi Muhammad adalah bercorak system Teodemokratis, disatu sisi tatanan masyarakat harus berdasarkan pada hukum-hukum yang mana hukum tersebut berdasarkan pada wahyu yang diturunkan oleh Tuhan dalam menyikapi setiap peristiwa waktu itu. Disisi lain bentuk pemerintahan dan tatanan social dirumuskan lewat proses musyawarah yang dilakukan secara bersama suku-suku yang ada dalam masyarakat Madinah. Bila dikontekskan dengan system pemerintahan sekarang, bentuk struktur tatanan pemerintahan terdiri dari Eksekutiv, yudikatif dan legislative. Eksekutiv dimana kepala pemerintahan dipegang oleh Nabi Muhammad, begitupun dalam mahkamah konstitusi dan hukum semua ditentukan oleh Nabi sebagai pengambil kebijakan selain dalam masalah menentukan bentuk tatanan masyarakat yang menyangkut pluralitas warga Negara Madinah. Dalam ranah legislativ, setiap suku yang ada di Madinah mempunyai persamaan hak dalam menyampaikan pendapat dalam menentukan tatanan social masyarakat seperti dalam menciptakan konstitusi Piagam Madinah.
Dalam membiayai pemerintahan nabi mengambil zakat (zakat fitrah dan zakat maal) untuk umat muslim, serta mengambil Jizyah dari non muslim yang ada dalam masyarakat Madinah. Selain lewat militer[10] , konsolidasi pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi juga menggunakan diplomasi dan lewat perkawinan politik.
[11] Sebagai pusat pemerintahan Nabi menggunakan masjid sebagai ruang publik. Pada awalnya masjid adalah bangunan yang mengekspresikan cita-cita awal Islam. Batang- batang pohon yang menyangga atap, sebiah batu menandai kiblat dan Nabi berdiri di salah satu tiang penyangga untuk berkhotbah. Juga terdapat sebuah halaman tempat umat Islam bertemu dan membiocarakan semua persoalan ummat baik dalam tataran politik, social, militer, dan agama. Muhammad dan istri-istrinya tinggal dibilik-bilik kecil. Disekeliling halaman. Tidak seperti gereja Kristen yang terpisah dari aktivitas keduniaan dan hanya digunakan untuk peribadatan, tidak ada kegiatan yang dikecualikan dari masjid. Dalam visi Al Qur’an tidak ada dikotomi antara yang sacral dan yang profan, antara agama, politik, seksualitas dan ibadah. Seluruh kehidupan berpotensi menjadi suci dan harus dibawa kepada kesucian. Tujuannya adalah tauhid (mengesakan), integrasi seluruh kehidupan dalam satu masyarakat yang akan memberikan perasaan dekat dengan yang satu, yaitu Tuhan. [12]
Bagaimana Nabi Muhammad mempraktikkan Demokrasi dalam menjalankan roda pemerintahannya? Sudah sering diungkapkan bahwa Muhammad akan selal berpedoman pada Al Qur’an dalam memutuskan sesuatu. Akan tetapi apabila ada perkara yang belum diatur dalam Al Qur’an tidak jarang Nabi mengajak Musyawarah sahabat-sahabatnya. Tentu saja kalau kita kaitkan dengan konteks Negara modern yang jauh lebih kompleks seperti sekarang, proses musyawarah yang dijalankan pada zaman Nabi sebenarnya secara secara substantive tidak berbeda dengan dengan apa yang diperlihatkan dengan proses politik sekarang, yaitu apa yang kita kenal dengan representative democracy, karena kita juga memahami bahwa Nabi dalam melakukan musyawarah tidak melibatkan segenap warga masyarakat yang telah memiliki “political franchise”, akan tetapi musyawarah yang melibatkan para sahabat yang tentu saja sangat berpengaruh dalam lingkungan masyarakat. [13]
Tatanan Ekonomi dalam masyarakat tauhid
Islam lahir pada awal kelahirannya bukan hanya kritik terhadap relijiusitas masyarakat arab yang menyembah berhala pada waktu itu tetapi merupakan gerakan ekonomi. Islam dengan Al Qur’an sangat menentang struktur social yang tidak adil dan menindas yang secara umum melingkupi kota makkah sebagai tempat asal mula Islam. Bagi orang yang memperhatikan Al Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran Islam yang sangat pokok. Al Quran mengajarkan pada umat Islam untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan dan dalam Al Quran keadilan merupakan bagian integral dari ketakwaan. [14] Takwa dalam Islam bukan Cuma dalam tataran ritualistic namun sangat terkait erat dengan keadilan ekonomi dan social.
Al Quran bukan saja menentang penimbunan harta (dalam arti tidak disumbangkan untuk fakir miskin, janda-janda, dan anak yatim) namun juga menentang kemewahan dan tindakan yang menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan diri sementara banyak sekali orang yang miskin dan membutuhkan. Kedua tindakan tersebut adalah kejahatan dan merusak keseimbangan social. Maka keadilan didalam Al Quran bukan hanya berarti norma hukum namun juga keadilan distribusi pendapatan. Keseimbangan social hanya dapat dijaga bila kekayaan social dimanfaatkan secara merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Penumpukan kekayaan dan penggunaan yang tidak sebagaimana mestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut dan akan berujung kehancuran. Jika orang mengkaji Al Quran sebagai sumber ajaran Islam. Ia akan banyak sekali menjumpai ayat tentang konsep keadilan distributive tersebut. Misalnya ada ayat yang berbunyi “dan manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang diusahakan” (Al Quran 23:84). Ungkapan ini adalah penentangan secara langsung terhadap system kapitalisme karena yang menjadi pemilik sebenarnya adalah produsen, bukan pemilik alat produksi. [15]
Nabi sangat memperhatikan berbagai malpraktek dalam perdagangan dan perniagaan.satu penolakan yang tegas adalah penolakan terhadap spekulasi. Sebenarnya sangat banyak masalah dalam masyarakat industrial atau niaga yang berasal dari praktek-praktek spekulasi yang membuka jalan untuk meraih keuntungan dengan cepat. Semua praktek ini ditentang tegas dalam Al Quran. Dilarang menjual buah yang belum masak dan belum dipetik karena tidak diketahui jumlahnya, juga tidak boleh menjual bayi hewan dalam kandungan, tidak boleh mengurangi dan melebihkan takaran dalam jual beli, inilah prinsip-prinsip yang perdagangan yang diatur dalam Islam. [16]
Konsep tauhid dalam Islam bukan hanya berimplikasi pada tataran teologis tentang pengesaan Tuhan dengan segala tata cara ritualnya, tetapi juga berimplikasi pada tatanan masyarakat dan secara otomatis berpengaruh pada sistem ekonomi. Dalam Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa tujuannya adalah untuk saling mengenal, dan tidak ada perbedaan stratifikasi social dalam Islam kecuali dalam hal ketakwaan. Islam menginginkan bentuk system ekonomi sosialistis yang tidak ada kepemilikan alat produksi mutlak oleh seseorang. [17] Semua praktek yang mengarah pada eksploitasi sesama manusia termasuk industry dan perniagaan yang tidak adil dianggap sebagai riba. [18] Dakwah Nabi pada waktu periode Makkah adalah merupakan kritik terhadap system merkantilisme dan akumulasi kekayaan yang dilakukan oleh elit-elit Quraisy sehingga mengakibatkan hancurnya kode etik kesukuan yang berasaskan solidaritas dan egalitarianism berganti menjadi system untung rugi dan eksploitasi.
KESIMPULAN
Islam adalah agama yang natural dimana factor kelahirannya sangat dipengaruhi oleh kondisi social ekonomi pilitik yang ada. Muhammad tidak pernah menetapkan sistem pemerintahan dalam Islam tetapi hal itu diserahkan pada ummat Islam itu sendiri. Disatu sisi sistem masyarakat yang hendak dibangun oleh Islam mempunyai implikasi langsung terhadap corak politik dan bentuk pemerintahan yang dibentuk. Di sisi lain hal yang ingin dibangun oleh Islam adalah civil society yang mana setiap warga Negara berhak mendapat keadilan dalam hukum, ekonomi, politik dan kesetaraan dalam hubungan social. Di zaman nabi Muhammad sistem pemerintahan ketika merujuk pada piagam madinah terdiri dari Eksekutif, Yudikatif, dan legislative, dimana bidang Eksekutif dan yudikatif dipegang oleh Nabi secara langsung, sementara legislative diserahkan pada setiap suku dengan konsep musyawarah. Sistem kesetaraan dalam Islam berimplikasi pada sistem Ekonomi yang hendak dibangun oleh Nabi yaitu ekonomi yang tidak ada unsure eksploitatif dan akumulatif yang nantinya melahirkan riba. Konsep ekonomi ini adalah kritik terhadap sistem merkantilis yang dibentuk oleh elit Quraisy Makkah. Dalam sistem ekonomi Islam setiap manusia mendapatkan dari hasil kerjanya dan setiap Muslim harus menafkahkan kelebihan hartanya dari kebutuhan pokoknya.
DAFTAR PUSTAKA
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan , Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
Arnold Toynbee, Sejarah Umat Manusia : Uraian Analitis, Kronologis, Naratif dan Komparatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.
Bernard Lewis, Islam Liberalisme Demokrasi: membangun sinergi warisan sejarah, doktrin dan konteks global, Jakarta : Paramadina, 2002.
John L. Esposito, Islam Warna Warni : Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus , Jakarta : Paramadina, 2004.
Karen Armstrong, Sejarah Islam Singkat, Yogyakarta: Elbanin Media, 2008.
Niel Robinson, Pengantar Islam Koprehensif , Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2001
Zainab Al Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun , Bandung : Penerbit Pustaka, 1995.
Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, vol.1, no 1, juli-desember 1998.
[1] [1] Zaman sebelum Islam datang selain masyarakatnya yang buta huruf, mereka terkungkung dalam paradigma kesukuan dan sangat sulit untuk memahami suku yang lain. Setiap suku mempunyai berhala sendiri dan seluruh kehidupannya dikendalikan oleh tahayul yang dikempangkan oleh pandangan dunia kesukuannya masing-masing. Posisi wanita tidak dihargai dan menurut tatanan masyarakat waktu itu dianggap sebagai beban hidup. Banyak sekali kasus tentang bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup. Dalam tataran ekonomi banya sekali kesenjangan yang disebabkan oleh sistem oligarkhi perdagangan. Banyak sekali budak yang dipekerjakan tanpa upah, anak-anak yatim, janda dan fakir miskin dalam percaturan sosial terpinggirkan karena tidak adanya akses ekonomi. Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan , Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009...hal 42-43.
[2] Ada satu teks penting yang terdapat dalam muqaddimah yang menguraikan pentingnya aspek ekonomi dalam kehidupan manusia dan perkembangannya. Teks tersebut menyatakan bahwa “ perbedaan keadaan berbagai generasi timbul karena perbedaan pendapatan dan penghidupan mereka. Tolong menolong yang dilakukan masyarakat dimaksudkan untuk menghasilkan keperluan hidup...” Dari teks diatas tampak Ibnu Khaldun berpendapat bahwa aspek ekonomi dan kegiatan berproduksi yang menentukan watak kehidupan sosial. Zainab Al Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun , Bandung : Penerbit Pustaka, 1995...hal 119.
[3] Masyarakat makkah waktu itu dirundung ketegangan karena harta benda hanya terkonsentrasi pada beberapa orang dan tidak adanya keadilan distribusi ekonomi. Berkat munculnya kelas yang berpengaruh (seperti Abu Jahal, Abu lahab, Abu Syufyan) yakni kelas borjuis merkantilis di makkah benteng kesukuan itu akhirnya pecah dan hubungan produksi antar suku berganti menjadi sistem ekonomi merkantilis yang didasarkan atas tukar-menukar barang kemudian diikuti oleh ekonomi pastoral yang telah disebutkan dalam Al Qur’an. Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan , Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009..hal 92.
[4] John L. Esposito, Islam Warna Warni : Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus , Jakarta : Paramadina, 2004….hal 7.
[5] Dampak dari kondisi social ini bersifat akumulatif dan pada ,masa Nabi Muhammad akumulasi kekuatan spiritual di Arabia siap meledak. Tetapi kekuatan itu tidak akan menemukan salurannya jika Muhammad tidak lahir untuk mengarahkannya. Sebaliknya, seandainya Muhammad dilahirkan sebelum Arabia matang, maka visi, tekad, dan kebijaksanaanya mungkin tidak akan menang. Salah satu perintah khusus dalam menyikapi kondisi masyarakat Arab saat itu adalah yang kaya dan kuat harus mengasihi yang miskin dan lemah – misalnya anak yatim dan janda. Arnold Toynbee, Sejarah Umat Manusia : Uraian Analitis, Kronologis, Naratif dan Komparatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007…hal 477.
[6] Muhammad lahir di Makkah pada tahun 570 M, sebuah kota dagang dan bisnis penting yang terletak diantara bukit-bukit Arab pada rute perdagangan dari yaman ke syria dan dari Abessinia ke Iraq. Sebagian besar penduduknya termasuk suku Quraisy yang terbagi dalam puluhan suku. Pada tahun 610 M, ketika Muhammad berusia 40 tahun, beliau mulai menerima wahyu. Ia diutus untuk mengingatkan kaumnya agar meninggalkan berhala dan ketamakan, dan menganjurkan kaumnya untuk menyembah Allah. Pada tahun 622, karena perlawanan terhadap dakwahnya yang terus meningkat dan ancaman terhadap hidupnya, belia hijrah ke Madinah dimana beliau sudah banyak pengikut. Dua pertiga populasi Madinah berasal dari dua suku Arab, Aus dan Khazraj, yang gabungan dari keduanya terdiri dari delapan suku. Dengan tambahan ada suku Yahudi. Sebagian besar populasi Arab menyambut kedatangan Nabi Muhammad, melihat beliau sebagai pemimpin yang bisa menyelesaikan perpecahan dalam masyarakat madinah. Meskipun orang-orang muslim yang berhijrah bersamanya berasal dari beberapa suku yang berbeda, orang Madinah melihat mereka berasal dari suku yang sama dengan Nabi menjadi pemimpinnya. Posisi beliau kemudian menjadi pemimpin militer . sesudah pertempuran kecil dengan orang Makkah, pada perang Badar tahun 624, Uhud tahun625, dan Khandaq tahun 627 beliau berhasil menaklukkan Makkah tahun 630. Pada akhir tahun yang sama beliau memimpin ekspedisi ke Tabuk dalam perjalanan beliau menjamin keselamatan dan keamananmasyarakat Yahudi dan Kristen sebagai balasan atas pembayaran pajak perkapita yang dikenal sebagai Jizyah. Tahun 632 M Nabi Muhammad wafat. Niel Robinson, Pengantar Islam Koprehensif , Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2001, hal 30-33.
[7] Konsep musyawarah dalam Islam awal tidak bias dilepaskan dari kondisi obyektif masyarakat pada waktu itu dimana ada proses transisi dari masyarakat badui yang primitive dan solidaritas kesukuannya sangat kuat menuju fase masyarakat feudal yang patron klien. Setiap suku di wakili oleh elit yang berpengaruh, sistem musyawarah ini nantinya beralih pada sistem feodalisme murni pada zaman dinasti Umayyah sampai abad 19 dalam Islam. Factor perkembangan sejarah dan Masyarakat ini sangat berpengaruh pada tatanan politik dan pemerintahan yang berlaku pada dunia islam sepanjang sejarah, mulai dari masyarakat Badui yang komunal primitive sampai dengan masyarakat feudal dan sistem kapitalistis. Peralihan dari sistem kerajaan menuju sistem demokratis tidak lepas dari perkembangan masyarakat kapitalistis liberal yang melingkupi sejarah umat Islam.
[8] Yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan nabi mengganti kota ini menjadi madinah. Tindakan nabi ini bukanlah kebetulan. Dibaliknya terkandung makna yang luas dan mendalam yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik jazirah Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara istilah perkataan Madinah berarti kota. Perkataan itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya yang dapat ditelusuri dari asal makna semitiknya yaitu “d-y-n” dengan makna dasar “patuh” dalam tafsir dana-yadinu. Dari kata itu pula perkataan agama adalah “din” suatu perkataan yang mengacu pada sikap patuh. Sebab system atau rangkaian ajaran yang disebut agama itu berintikan tuntutan
kepatuhan pada sesuatu yang dipandang mutlak. Nurkholis madjid, Jurnal Paramadina, vol.1, no 1, juli-desember 1998…hal 51.
[9] Madinah juga mempunyai makna “kota”, dan bentuk masyarakat ini sangat mirip dengan bentuk masyarakat Yunani yang disebut dengan Polis dimana setiap warga Negara mempunyai hak yang sama dalam politik dan setara didepan hukum.
[10] Di Madinah, korban pertama dari politik militer Islam adalah tiga kabilah Yahudi, yaitu Bani Qoinuqo, Bani Nadzir dan Bani Quraidzah, yang sebelumnya bertekad menghancurkan Muhammad dan yang masing-masing bersekutu dengan Makkah. Mereka mempunyai pasukan yang kuat dan jelas menjadi ancaman bagi umat Islam karena wilayah mereka memungkinkan mereka bergabung dengan pasukan pengepung dari Makkah atau menyerang ummat dari belakang. Ketika bani Qoinuqo melancarkan pemberontakan yang gagal melawan Nabi tahun 625 M, mereka diusir dari Madinah, sesuai dengan adat Arab. Muhammad mencoba menenangkan Bani Nadzir dan membuat perjanjian khusus dengan mereka. Akan tetapi ketika Nabi mengetahui rencana mereka membunuh dirinya, mereka juga diusir dan bergabung dengan pemukiman Yahudi Khaibar dan menggalang dukungan bagi Abu Syufyan dari suku-suku Arab utara. Bani Nadzir terbukti makin berbahaya setelah berada diluar Madinah. Maka ketika Bani Quraidzah memihak Makkah dalam perang Khandaq, ketika ummat Islam berada diambang kehancuran, Muhammad tidak mau berbelas kasihan lagi. Sekitar 700 laki-laki bani Quraidzah dibunuh dan para wanita serta anak-anak dijual dan dijadikan budak. Karen Armstrong, Sejarah Islam Singkat, Yogyakarta: Elbanin Media, 2008…hal 28-29.
[11] Banyaknya Istri Muhammad sering kali dianggap cabul oleh Barat. Akan tetapi keliru jika membayangkan Nabi larut dalam kesenangan seksual seperti sebagian penguasa Islam dikemudian hari. Di Makkah, Muhammad tetap bermonogami, hanya menikah dengan Khadijah, meskipun poligami sudah lumrah di Arabia. Khadijah lebih tua dari Muhammad, tetapi melahirkan enam orang anak Muhammad dan hanya empat perempuan yang masih hidup. Saat dia membangun suku super barunya, dia sangat ingin sangat ingin menjalin hubungan perkawinan dengan sahabat terdekat untuk mempererat hubungan mereka. Istri yang sangat disayangi oleh Nabi adalah Aisyah, putrid Abu Bakar, dan Nabi juga menikahi Hafsah, putri Umar bin Khattab. Dia juga menikahkan dua putrinya dengan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib. Sebagian istrinya adalah wanita yang cukup berumur, yang tidak mempunyai pelindung atau mempunyai hubungan dengan kepala suku yang menjadi sekutu-sekutu ummat. Nabi sering mengajak salah satu Istrinya dalam ekspedisi-ekspedisi, konsultasi dan mempertimbangkan saran mereka dengan serius. Dalam satu kesempatan, istrinya yang paling pandai, Ummu Salamah, membantunya mencegah pembangkangan. Karen Armstrong,
Sejarah Islam Singkat, Yogyakarta: Elbanin Media, 2008…hal 19-20.
[12] Karen Armstrong, Sejarah Islam Singkat, Yogyakarta: Elbanin Media, 2008…hal 18.
[13] Bernard Lewis, Islam Liberalisme Demokrasi: membangun sinergi warisan sejarah, doktrin dan konteks global, Jakarta : Paramadina, 2002. .hal 123.
[14] Al quran 5:8
[15] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan , Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009..hal 57-61.
[16] Seperti yang disebutkan oleh ayat Al Quran : “celakalah orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, menuntut takaran sepenuhnya. Tetapi bila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi takarannya. Apakah mereka mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan pada hari yang dahsyat?” Q.S 83: 1-5.
[17] Sejarah Islam mencatat bahwa pada waktu kaum Imigran (muhajirin) Makkah sampai ke Madinah, Nabi Muhammad mempersaudarakan mereka dengan orang-orang Ansor. Dan orang-orang Ansor lalu membagikan harta benda mereka pada kaum muhajirin yang tidak mempunya harta. Selain itu banyak sekali ayat-ayat yang mengatur tentang kepemilikan harta benda dan melarang terhadap akumulasi kekayaan. Misalnya dalam surat al Maun dan al humazah ayat 1-4. Masyarakat kapitalis barat sekarang yang didasarkan pada struktur yang menindas dan eksploitatif hidup makmur dengan merampas sumber-sumber ekonomi Negara dunia ketiga untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan standar hidup yang tinggi. Konsumerisme barat adalah pangkal dari ketimpangan ekonomi dunia. Sebaliknya system ekonomi sosialis bias menghambat konsumerisme. System ekonomi sosialis ini menekankan pada produksi barang-barang untuk mencukupi kebutuhan pokok bukan produks untuk mencukupi kebutuhan barang-barang mewah.
[18] Kritik Islam ini juga mengarah pada system dalam masyarakat industrial modern, semua praktek monopoli, kartel dan pengawasan multi nasional terhadap pasar harus diperlakukan sebagai riba. Semua ini jelas bagi orang yang paham ekonomi industrial bahwa penghapusan bunga atau memberlakukan Bank bebas bunga tidak akan menyelesaikan substansi persoalan monopoli atau ekonomi yang dikontrol oleh perusahaan multi nasional. System ekonomi yang seperti ini hanya akan mengakibatkan kerugian dalam tataran masyarakat. Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan , Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar