Menolong Dalam Mewujudkan
PERINTAH UNTUK SALING MENOLONG DALAM MEWUJUDKAN KEBAIKAN DAN KETAKWAAN
Oleh
Ustadz Abu Minhal
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]
PENJELASAN AYAT
Makna al-birru (الْبِرِّ ) dan at-taqwa (التَّقْوَى )
Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat.Karena masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya.
Secara sederhana, al-birru (الْبِرِّ ) bermakna kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang telah dipaparkan oleh syariat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikan bahwa al-birru adalah satu kata bagi seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang hamba. Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi sebab seorang hamba sangat dicela apabila melakukannya. [1]
Tidak jauh berbeda, Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa al-birru adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah Azza wa Jalla cintai dan ridhai, berupa perbuatan-perbuatan yang zhâhir maupun batin, yang berhubungan dengan hak Allah Azza wa Jalla atau hak sesama manusia.[2]
Dari sini dapat diketahui, bahwa termasuk dalam cakupan al-birru, keimanan dan cabang-cabangnya, demikian pula ketakwaan.
Allah Azza wa Jalla telah menghimpun ragam al-birru (kebaikan, kebajikan) dalam ayat berikut:
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. [al-Baqarah/2:177]
Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di atas mencakup seluruh unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, penegakan syariat seperti mendirikan shalat, membayar zakat dan infak kepada orang yang membutuhkan dan amalan hati seperti bersabar dan menepati janji.
Dalam ayat ini, setelah memberitahukan ragam kebaikan, di penghujung ayat, Allah Azza wa Jalla menjelaskan itulah bentuk-bentuk ketakwaan (sifat-sifat kaum muttaqîn).
Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh keimanan dan mengharap pahala; baik yang berupa perintah ataupun larangan. Kemudian perintah itu dilaksanakan atas dasar keimanan dengan perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap larangan tersebut dan dan takut akan ancaman-Nya.
Thalq bin Habîb rahimahullah, seorang Ulama dari kalangan generasi Tâbi’în berkata:” Apabila terjadi fitnah maka bendunglah dengan takwa”. Mereka berkata:” Apa yang dimaksud dengan takwa?”. Beliau menjawab:” Hendaknya engkau melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan mengharap pahala-Nya. Dan engkau tinggalkan maksiat dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan takut terhadap siksa-Nya”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memuji keterangan di atas dengan mengatakan [3] : Ini merupakan definisi takwa yang paling bagus. Beliau menjelaskan, bahwa semua amalan memiliki permulaan dan tujuan akhir. Satu amalan tidaklah dianggap sebagai bentuk ketaatan dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla kecuali apabila bersumber dari keimanan. Artinya dorongan utama melakukan amalan tersebut adalah keimanan bukan kebiasaan, mengikuti hawa nafsu atau keinginan untuk mendapatkan pujian dan kedudukan. Jadi, permulaannya adalah keimanan dan tujuan akhirnya adalah meraih pahala dari Allah Azza wa Jalla serta mengharap keridhaan-Nya atau yang disebut dengan ihtisâb. Oleh karena itu, banyak kita dapatkan kata iman dan ihtisâb datang secara bersamaan seperti contoh berikut:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang puasa ramadhan dengan penuh keimanan (iman) dan mengharap pahala (ihtisâb), maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.[HR. al-Bukhâri Muslim].
Faedah:
Ulama mengatakan bahwa penggabungan kata al-birr dan at-taqwa dalam satu tempat (seperti ayat di atas) mengandung pengertian yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks ini, al-birr bermaka semua hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, lahir dan batin. Sementara at-taqwa lebih mengarah kepada tindakan menjauhi segala yang diharamkan [al-Qawâid al-Hisân, Syaikh as-Sa’di, hlm. 48]
Makna al-itsmu (إئْمُ ) dan al-’udwân ( الْعُدْوَانُ)
Pada dasarnya, pengertian antara al-birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-’udwân terikat pada hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk ‘udwân (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah Azza wa Jalla, yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan ‘udwân, pelakunya berdosa.
Namun bila keduanya disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian yang berbeda dengan yang lainnya.
Al-itsmu (dosa) berkaitan dengan perbuatanperbuatan yang memang hukumnya haram. Contohnya, berdusta, zina, mencuri, minum khamer dan lainnya. Contoh-contoh di atas merupakan perbuatan yang pada asalnya haram.
Sehubungan dengan al-’udwân, kata ini lebih mengarah pada suatu pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui batas. Apabila tidak terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan (halal).
Tindakan melampaui batas terbagi dua, pertama: terhadap Allah Azza wa Jalla, seperti melampaui batas ketentuan Allah Azza wa Jalla dalam pernikahan seperti : memiliki lima istri, atau menyetubuhi istri dalam masa haidh, nifas, masa ihram atau puasa wajib.
Dan kedua: Tindakan melampaui batas terhadap sesama. Contohnya, bertindak kelewat batas terhadap orang yang berhutang, dengan menciderai kehormatan, fisik atau mengambil lebih dari seharusnya. [4]
URGENSI AYAT
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan itulah yang disebut dengan albirr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketakwaan. Dan Dia Azza wa Jalla melarang mereka saling mendukung kebatilan dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan perkara haram.[5]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menilai ayat di atas memiliki urgensi tersendiri. Beliau menyatakan: Ayat yang mulia ini mencakup semua jenis bagi kemaslahatan para hamba, di dunia maupun akhirat, baik antara mereka dengan sesama, ataupun dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak luput dari dua kewajiban; kewajiban individualnya terhadap Allah Azza wa Jalla dan kewajiban sosialnya terhadap sesamanya.
Selanjutnya, beliau memaparkan bahwa hubungan seseorang dengan sesama dapat terlukis pada jalinan pergaulan, saling menolong dan persahabatan. Hubungan itu wajib terjalin dalam rangka mengharap ridha Allah Azza wa Jalla dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan mewujudkan hal tersebut, dan itulah kebaikan serta ketakwaan yang merupakan inti dari agama ini.[6]
Al-Mâwardi rahimahullah berkata: Allah Azza wa Jalla mengajak untuk tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan dengan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah Azza wa Jalla. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai (meridhai). Barang siapa memadukan antara ridha Allah Azza wa Jalla dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.[7]
Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْصُر أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظلُو مًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنصُرًُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالََ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.” [HR. al-Bukhâri]
Dalam hadits lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّالُ عَلَى الْخَيْرِ كَفَا عِلِهِ
Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya. [HR. Muslim]
Orang berilmu membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan. Jadi, seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shalih, berkewajiban membantu orang lain dengan ucapan atau tindakan yang memacu semangat orang lain untuk beramal.[8]
Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tertuang dalam perintah ‘Dan bertakwalah kamu kepada Allah’. Dalam hubungan ini, seorang hamba harus lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan menjauhi perbuatan untuk yang menentangnya.[9]
Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan sesama) akan tercapai dengan mencurahkan nasehat, perbuatan baik dan perhatian terhadap perkara ini. Dan kewajiban kedua (antara seorang hamba dengan Rabbnya), akan terwujud melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan penuh pengabdian kepada-Nya.[10]
Hendaknya ini dipahami bahwa sebab kepincangan yang terjadi pada seorang hamba dalam menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika dia tidak memperhatikannya, baik secara pemahaman maupun pengamalan.[11]
PENUTUP
Dengan jelas, ayat di atas memuat kewajiban saling membantu di antara kaum Mukminin untuk menegakkan agama dan larangan bagi mereka untuk bekerjasama dalam menodainya. Bukan sebaliknya yaitu malahan melemahkan semangat beramal orang, mengejek orang yang berusaha konsisten dengan syariat maupun menjadi dalang tersebarnya perbuatan maksiat di tengah masyarakat. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 05/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[5]. Tafsîrul Qur‘ânil ‘Azhîm (3/12-13)
[6]. ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 30
[7]. Tafsîr al-Qurthubi (Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân), Muhammad bin Ahmad al-Qurthûbi, tahqîq: ‘Abdur-Razzaq al-Mahdi, Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H, Vol. 6, hlm. 45
[8]. Tafsîr al-Qurthûbi (6/45), Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 182
[9]. ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 57
[10] Ibid hlm. 57
[11]. ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 57
20 August 2010 in category Al-Qur'an : Tafsir
Tujuan Ziarah Kubur Dalam Kaca Mata SufiNext »
Pencarian
Search
Category
Select Category Adab Dan Perilaku Ahkam Ahkam : Hudud Ahkam : Kabair (Dosa-Dosa Besar) Akhlak Aktual Aktual : Wahhabi Al-Ilmu Al-Ilmu : Qawaid Fiqhiyah Al-Masaa’il Al-Masaa’il : Dialog Pemikiran-1 Al-Masaa’il : Dialog Pemikiran-2 Al-Masaa’il : Dialog Pemikiran-3 Al-Masaa’il : Haram al-Sharif Al-Masaa’il : Jihad Al-Masaa’il : Politik Al-Masaa’il : Propaganda Al-Masaa’il : Terorisme Al-Qur’an Al-Qur’an : Ilmu Al-Qur’an : Tafsir Alwajiz : Haji & Umrah Alwajiz : Hukum & Pidana Alwajiz : Jenazah Alwajiz : Jual Beli Alwajiz : Makanan Alwajiz : Nikah Alwajiz : Puasa Alwajiz : Shalat Alwajiz : Shalat Sunnah Alwajiz : Sumpah & Jihad Alwajiz : Thaharah Alwajiz : Wasiat & Waris Alwajiz : Zakat Bahasan : Aqidah Bahasan : Asmaaul Husna Bahasan : Assunnah Bahasan : Bai’at Bahasan : Bid’ah Bahasan : Hadits (1) Bahasan : Hadits (2) Bahasan : Manhaj Bahasan : Sirah Nabi Bahasan : Syakhshiyah Bahasan : Tauhid Bahasan : Uswah Nabi Dakwah Dakwah : Firaq Dakwah : Hizbiyyah Dakwah : Kepada Kafir Dakwah : Nahi Mungkar Dakwah : Perpecahan ! Dakwah : Syubhat Fiqih : Bisnis & Riba Fiqih : Haji & Umrah Fiqih : Hari Raya Fiqih : Jenazah & Kematian Fiqih : Jual Beli Fiqih : Kurban & Aqiqah Fiqih : Makanan dan Hewan Fiqih : Media Fiqih : Nasehat Fiqih : Nikah Fiqih : Nikah & Talak Fiqih : Puasa Fiqih : Puasa Sunnah Fiqih : Shalat Fiqih : Shalat Jum’at Fiqih : Sumpah Fiqih : Waris & Waqaf Fiqih : Zakat, Sedekah, Hadiah Fokus : Fatawa Fokus : Mabhats Fokus : Waqiuna Kitab : Al-Ushul Ats-Tsalatsah Kitab : Aqidah (Syarah Aqidah ASWJ) Kitab : As-Sunnah Kitab : Dasar Islam Kitab : Hari Kiamat (1) Kitab : Hari Kiamat (2) Kitab : Kunci Rizki Kitab : Manhaj Salaf Kitab : Nikah – Sakinah Kitab : Nikah Beda Agama? Kitab : Nikah Dari A – Z Kitab : Puasa Nabi Kitab : Qadha & Qadar Kitab : Rifqon Ahlus Sunnah Kitab : Shalat Tahajjud Kitab : Tanya Jawab Al-Qur’an Kitab : Tauhid Prioritas Utama Risalah : Anak Risalah : Do’a, Dzikir & Taubat Risalah : Gambar, Musik Risalah : Hukum Risalah : Keluarga Risalah : Orang Tua Risalah : Pakaian, Hiasan Risalah : Rizqi & Harta Risalah : Sakit, Obat Risalah : Sihir, Dukun Risalah : Tazkiyah Nufus Wanita : Darah Wanita Wanita : Fiqih Shalat Wanita : Kesehatan Wanita : Konsultasi Wanita : Muslimah Wanita : Thaharah Wanita : Wasiat
Archives
Select Month September 2018 August 2018 July 2018 June 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 July 2017 June 2017 May 2017 April 2017 March 2017 February 2017 January 2017 December 2016 November 2016 October 2016 September 2016 August 2016 July 2016 June 2016 May 2016 April 2016 March 2016 February 2016 January 2016 December 2015 November 2015 October 2015 September 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 September 2014 August 2014 July 2014 June 2014 May 2014 April 2014 March 2014 February 2014 January 2014 December 2013 November 2013 October 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 December 2012 November 2012 October 2012 September 2012 August 2012 July 2012 June 2012 May 2012 April 2012 March 2012 February 2012 January 2012 December 2011 November 2011 October 2011 September 2011 August 2011 July 2011 June 2011 May 2011 April 2011 March 2011 February 2011 January 2011 December 2010 November 2010 October 2010 September 2010 August 2010 July 2010 June 2010 May 2010 April 2010 March 2010 February 2010 January 2010 December 2009 November 2009 October 2009 September 2009 August 2009 July 2009 May 2008 April 2008 March 2008 February 2008 January 2008 December 2007 November 2007 October 2007 September 2007 August 2007 July 2007 June 2007 May 2007 April 2007 March 2007 February 2007 January 2007 December 2006 November 2006 October 2006 September 2006 August 2006 July 2006 June 2006 May 2006 April 2006 March 2006 February 2006 January 2006 December 2005 November 2005 October 2005 September 2005 August 2005 July 2005 June 2005 May 2005 April 2005 March 2005 February 2005 January 2005 December 2004 November 2004 October 2004 September 2004 August 2004 July 2004 June 2004 May 2004 April 2004 March 2004 February 2004 January 2004 November 2003 October 2003
Twitter Telegram ISDN TafsirCopyright © 2018 Almanhaj - Media Salafiyyah Ahlus Sunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar